Keistimewaan bidang agama di Aceh
Oleh Taufik Arba'a
Aceh sebagai salah satu provinsi bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia mempunyai arti penting bagi keutuhan Indonesia. Aceh memiliki keistimewaan dalam bidang agama, selain memang merupakan daerah pertama datangnya Islam di Indonesia, juga merupakan salah satu pusat perkembangan peradaban Islam di Asia Tenggara dengan penduduk mayoritas Islam, jumlah pemeluk Islam di Aceh dalah 4.356.624 atau 98,898 %.2 Atas latar belakang historis tersebut, timbul inisiatif dari para pemimpin Aceh pada saat itu serta didukung oleh masyarakat Aceh untuk memohon kepada Pemerintah Pusat (Jakarta) agar diberikan status Daerah Istimewa kepada Aceh dan melaksanakan syariat Islam. Namun, dalam realita hal tersebut tidak pernah terealisasi, bahkan pada saat itu Aceh hendak dileburkan menjadi bagian dari Sumatera Utara. Hal tersebut merupakan awal penyebab dari munculnya pemberontakan DI/TI yang dipimpin oleh Teungku M. Daud Bereueh (Hardi, 1993). Pelaksanaan Syariat Islam memperoleh dasar hukum pasca reformasi tahun 1998. Tepatnya tahun 2001, melalui UU No. 44 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh tanggal 4 Oktober 1999 dan UU No. 18 tahun 2001 tentang Otonomi
Khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Nanggroe Aceh Darussalam ditetapkan tanggal 9 Agustus 2001. Walaupun di Aceh telah diberlakukan Syariat Islam secara kaffah, bukan berarti umat non Muslim tidak boleh menetap dan menjalankan ibadah sesuai dengan agamanya, seperti Kristen, Katolik, Hindu, Buddha dan Konghucu. Semua agama di Aceh hidup berdampingan dalam misi Islam rahmatan lil’alamin. Namun dalam berbagai wacana dan pemberitaan di media massa, dengan pelaksanaan syariat Islam tersebut seakan umat non Muslim menjadi tidak bebas dan kurang terlindungi dalam pelaksanaan agamanya di Aceh. Sehubungan dengan hal tersebut di atas, menarik untuk dilihat bagaimana pelaksanaan syariat Islam di Aceh, hubungannya dengan kerukunan dan kebebasan beragama. Hal ini penting karena hasilnya dapat dijadikan model dalam menciptakan kerukunan dan kebebasan hidup umat beragama di Indonesia, bahkan di dunia Internasional dalam konteks penganut agama minoritas dengan mayoritas.
Pembahasan
Syariat Islam dan Qanun
Syari’ah bisa digunakan dalam dua arti, pertama dalam arti sempit, merupakan salah satu aspek ajaran Islam yaitu aspek yang berhubungan dengan hukum. Sedang dalam arti luas mencakup semua aspek ajaran Islam, identik dengan istilah Islam itu sendiri. Kemudian Syari’at Islam digunakan secara lebih luas mencakup aspek pendidikan, kebudayaan, ekonomi, politik dan aspekaspek lainnya (Abubakar, 2008: 19). Syari’at Islam adalah tuntunan ajaran Islam dalam semua aspek kehidupan. Pelaksanaan Syari’at Islam diatur dalam Peraturan Daerah Propinsi Daerah Istimewa Aceh nomor 5 tahun 2000 tentang Pelaksanaan Syari’at Islam (Dinas Syari’at Islam, 2009: 257). Adapun aspek-aspek pelaksanaan Syari’at Islam adalah seperti terdapat dalam Perda Daerah Istimewa Aceh nomor 5 tahun 2000 tentang Pelaksanaan Syari’at Islam. Bab IV Pasal 5 ayat 2, yaitu: Aqidah, Ibadah, Muamalah, Akhlak, Pendidikan dan dakwah Islamiyah/amar makruf anhi munkar, Baitulmal, kemasyarakatan, Syiar Islam, Pembelaan Islam, Qadha, Jinayat, Munakahat, dan Mawaris. Dasar hukum dan pengakuan Pemerintah untuk pelaksanaan Syari’at Islam di Aceh, didasarkan atas UU No. 44 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh dan UU No. 18 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
Pelaksanaan Syari’at Islam di Aceh telah diatur dalam Undang-undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Nanggroe Aceh Darussalam, pasal 31 disebutkan:
Ketentuan pelaksanaan undang-undang ini yang menyangkut kewenangan Pemerintah ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
Ketentuan Pelaksanaan undang-unang ini yang menyangkut kewenangan Pemerintah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam ditetapkan dengan Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
Penerapan syari’at Islam diterapkan di Aceh dewasa ini dengan segala qanun-qanunnya merupakan bangunan dari sendi-sendi peradaban Islam. Artinya, ketika Aceh menerapkan syari’at Islam, itu bermakna Aceh sedang membangun peradaban. Malik Riduwan, S.Sos salah satu staf Mahkama Syariat Islam Aceh di dalam wawancara mengatakan, syariat Islam sesungguhnya bukan hanya persoalan hukum, tapi juga berbagai aspek kehidupan. Ibadah, muamalah, munakahat pernikahan, , politik, muamalah, pergaulan dan sebagainya. Semua itu kata Bapak Malik telah tercover dalam syari’ah.
Ia juga menjelaskan bahwasanya Kalau kita melihat siyasah atau politik, bagaimana kelangsungan politik di Aceh, idealnya politik harus bersendingkan pada nilai-nilai peradaban. Jangan mencapai kekuasaan lewat kekerasan, tapi berbuat dengan akal sehat demikian yang di jelaskan oleh salah satu staf mahkamah syariat islam Aceh Malik Riduwan.
Lebih lanjut dalam wawan cara ini Malik Ridwan menambahkan, kita bersyukur bahwa di Aceh bukan hanya ada polisi, tapi juga ada polisi syari’at. Terlepas polisi syari’at tersebut memiliki kekuarangan, hal demikian dianggap wajar karena sedang berproses. Dan kerja polisi syari’at ini adalah kerja menegakkan peradaban.
Pelaksanaan Syariat Islam dan Respon Umat non Muslim
Pelaksanaan Syari’at Islam diatur dalam Peraturan Daerah Propinsi Daerah (Perda/Qanun) Istimewa Aceh nomor 5 tahun 2000 tentang Pelaksanaan Syari’at Islam. Dalam Bab II, tujuan dan Fungsi pasal 2 ayat 2 disebutkan bahwa: “Keberadaan agama lain di luar agama Islam tetap diakui di daerah ini, pemeluknya dapat menjalankan ajaran agamanya masing-masing”. Berdasarkan Qanun tersebut, agama selain Islam diakui keberadaannya di Aceh, begitu juga para pemeluknya dihormati dan dilindungi keberadaannya serta diberi kebebasan untuk beribadat melaksanakan ajaran dan kewajiban agamanya.
Berarti setiap umat beragama lain (non Muslim) tetap diberikan kebebasan dalam beragama dan menjalankan ibadah sesuai dengan agamanya masing-masing. Sehingga umat non muslim tidak merasa resah terhadap perlindungan beragama di Aceh, Qanun tersebut mengisyratkan bahwa Pemerintah Aceh tetap melindungi semua umat non Muslim yang ada di Aceh dalam menjalankan ajaran agamanya masing-masing. Pada bagian ketujuh Pasal 15 ayat 4 Qanun tersebut juga disebutkan bahwa: “setiap pemeluk agama lain selain agama Islam diharapan menghormati dan menyesuaikan pakain/busananya sehingga tidak melanggar tata karma dan kesopanan dalam masyarakat”.
Ayat tersebut bukan bertujuan untuk membatasi umat non Muslim, tetapi hal tersebut diatur untuk terciptanya masyarakat lebih teratur dan rapi serta penuh dengan kesopanan, sesuai dengan tata krama. Bagi umat non muslim tetap diberikan kebebasan untuk berpakain tidak sama dengan umat Muslim, tetapi disyaratkan dapat mengikuti tata karma dalam masyarakat. Dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 juga disebutkan bahwa pelaksanaan Syari’at Islam di Aceh hanya diberlakukan bagi orang yang beragama Islam. Dengan demikian, orang yang tidak beragama Islam tidak akan dipaksa untuk mengikuti hukum atau peraturan yang didasarkan kepada Syari’at Islam tersebut. Pelaksanaan Syari’at Islam di Aceh menjamin kebebasan beragama. Agama selain Islam diberikan kebebasan untuk menajalankan ibadah dan keyakinan masingmasing.
Dari kehidupan keseharian masyarakat Kota Banda Aceh sebenarnya sudah dapat dinilai, bagaimana respon umat non Muslim terhadap pelaksanaan Syari’at Islam di Aceh. Sampai saat ini, dari sejak diberlakukannya Syari’at Islam di Aceh, belum terdapat respon negatif dari umat non Muslim terhadap pelaksanaan Syari’at Islam di Aceh. Mereka tetap menjalani kehidupan seperti sebelumnya, tidak ada yang memiih pindah atau meninggalkan Aceh. Mereka tetap bekerja dan membuka usaha seperti biasa.
Kerukunan dan Kebebasan Beragama di Aceh
Untuk mengetahui tentang kerukunan dan kebebasan beragama di Aceh dapat dilihat dari interaksi antara Muslim dan non Muslim dapat dalam kehidupan sehari-hari di Kota Banda Aceh. Apabila kita amati, Kota Banda Aceh sangat berpotensi bagi semua umat beragama yang menetap di Aceh, karena umat non muslim, baik Kristen, Hindu, dan Buddha, mereka sama-sama mendapat peluang yang besar untuk bekerja dan hidup di Aceh. Umat non Muslim hampir menguasai 50% dari perdagangan dan usaha wiraswasta di Kota Banda Aceh. Dari sini nampak bahwa perbedaan agama dan nominasi Islam sebagai mayoritas, dengan Syari’at Islam tidak membuat mereka takut dan terhambat untuk terus maju dan berkiprah untuk memajukan ekonomi Aceh dan Indonesia pada umumnya. Menjadi pemandangan biasa ketika kita melihat orang-orang Islam berbelanja di tempat non Muslim, karyawan mereka Muslim, mereka biasa bercengkrama dan minum kopi di warung-warung, seolah tidak ada perbedaan antara mereka.
Umat Kristen Protestan selama ini hidup berdampingan dengan umat muslim di Aceh dalam keadaaan rukun dan damai, tidak pernah terjadi keributan dan terror meneror antara umat beragama. Bilapun ada, itu bukan masalah agama, tepi lebih kepada masalah-masalalah kepentingan pribadi seperti sengketa tanah, utang piutang, pencurian dan perkara-perkara pidana lain. Apabila ada kasus-kasus seperti pemurtadan dan usaha penyebaran agama, seperti keterlibatan beberapa orang asing di Meulaboh, Aceh Barat kepada umat Muslim di Aceh (Serambi Indonesia, 2010).
Itu merupakan perbuatan orang-orang yang tidak bertanggung jawab dan hanya ingin mengacaukan kerukunan umat beragama di Aceh. Gerakan mereka tidak sepengetahuan pihak Gereja, dan umat Kristen memang tidak setuju dengan perbuatan tersebut. Umat Kristen di Aceh senantiasa disibukkan dengan pekerjaan-pekerjaan mereka, bekerja dan bergaul dengan masyarakat Aceh yang mayoritas Muslim, mereka merasa sudah seperti saudara sendiri, dan tidak ada usaha saling menyakiti. Selama ini umat katolik bisa hidup berdampingan dengan umat Muslim yang mayoritas, kerukunan tidak menjadi masalah di Aceh.
Umat Hindu selama ini hidup rukun dengan umat Islam, baik dalam pergaulan sehari-hari, jual beli, dan dalam semua sendi kehidupan bermasyarakat lainnya. Tidak pernah terjadi kekacaun atau keributan antara umat Hindu dan Muslim. Umat Hindu bekerja mencari rezeki seperti umat Islam lainnya, ada yang berdagang, membuka bengkel, pegawai negeri, pegawai swasta, dan lainlain. Umat Hindu beribadah setiap malam Jum’at setelah Magrib, selain jamaah tetap, biasanya juga didatangi oleh jamaah-jamaah yang bertempat tinggal di luar Kota Banda Aceh, kebanyakan mereka berprofesi sebagai tentara, atau Polisi. Pada saat datangnya hari-hari besar umat Islam, seperti Idul Fitri dan Idul Adha, umat Hindu selalu melakukan kunjungan silaturrahmi ke tetangga-tetangga mereka yang muslim. Hal ini selalu dilakukan karena mereka adalah bagian dari masyarakat Aceh. Sebaliknya umat Islam, apabila ada acara keagamaan, atau perayaan hari besar Hindu juga mendatangi Kuil walaupun hanya sekedar melihat saja.
KESIMPULAN
Berdasarkan uraian di atas diambil kesimpulan; Pelaksanaan syariat Islam di Aceh secara keseluruhan dapat memelihara kerukunan baik intern maupun antarumat beragama. Masyarakat non-Muslim di tengah mayoritas Muslim menikmati kebebasan dalam menjalankan agamanya Non Muslim merespon positif terhadap Pelaksanaan syariat Islam di Aceh didasarkan pada fakta historissosiologis penduduk Aceh sejak sebelum kemerdekaan dan legalisasi yuridis (UU dan Qanun) terhadap pelaksanaan syariat Islam faktor dominan yang dapat mengganggu kerukunan antarumat beragama adalah pemurtadan, penyiaran agama kepada masyarakat yang telah menganut agama, serta pendirian rumah ibadah yang tidak mengikuti at uran dalam PBM.
Komentar
Posting Komentar